Rabu, 28 Agustus 2013

Perbedaan


Pertanyaan yang sama yang saya dapat hari ini mengingatkan saya pada kejadian beberapa hari yg lalu. Perbincangan yang sangat panjang dan menyenangkan bersama salah seorang teman. Pembahasan mengapa dunia ini begitu terkotak-kotak dan setiap pribadi cenderung membatasinya dari pribadi yang lain. Mengapa selalu ada tembok besar antara si kaya dan si miskin, si putih dan si hitam dan berbagai macam kotak-kotak lainnya yang kita buat. Salah satu pertanyaan yang datang pada saya hari ini lagi-lagi membahas mengenai masalah perbedaan. Saya sendiri menjawab kepada orang tersebut bahwa tiap-tiap orang memiliki masing-masing prinsip yang mempengaruhi penilaian mereka terhadap sebuah perbedaan. Seringkali pemikiran seperti ini berasal dari nenek moyang yang secara turun temurun diberikan kepada generasi penerusnya. Dengan embel-embel bahwa ini adalah warisan yang harus dijaga, jika tidak maka kita menjadi anak yang durhaka. Jika hal demikian harus diteruskan terus menerus, saya rasa dunia ini akan tetap begini. Terkotak-kotak, makin sempit dan akhirnya tiap pribadi memiliki tingkat individualisme yang makin tinggi. Sungguh mengerikan rasanya membayangkan hal seperti ini terjadi. 
Saya tidak pernah menyalahkan orang yang mengkotak-kotakan diri mereka, karena bagi saya itu adalah hak mereka. Hak mereka untuk memilih apakah mereka harus hidup dalam kotak itu selamanya atau bisa masuk ke dalam satu kotak ke kotak lainnya dan hidup bebas. Saat ini, saya sering berpindah dari satu kotak ke kotak lainnya dengan penuh kebahagiaan. Hal ini sangat menyenangkan dan membuat tiap hari terasa begitu bermakna, karena begitu banyak hal yang bisa saya dapat dan pelajari. Dan saya yakin bahwa itu tidak akan saya dapat dengan hanya menjadi penghuni satu kotak saja. Sampai saat ini, memang tak jarang saya mendapat teguran dari penghuni kotak di mana saya tinggal awalnya. Namun itu tak pernah membuat saya menyalahkannya, membencinya, menyuruhnya berbuat hal yang sama apalagi kembali terkurung di satu kotak itu saja. Saya hanya akan berkata di dalam hati sambil tersenyum kecil : “Ia belum merasakan kasih yang sebenarnya, karena hanya kasihlah yang dapat merobohkan semua tembok pemisah ini” :)

Sabtu, 17 Agustus 2013

Perpisahan...

Jam menunjukkan pukul 03.00 dan alarm hp berbunyi keras menggema di telinga. Tapi mata ini enggan untuk membuka. Mungkin karena dingin yang mencekam dan perasaan seolah tidak ingin lepas dari tempat tidur yang nyaman ini. Yah, pagi ini saya harus kembali ke perantauan, menuju kota pelajar tercinta Yogyakarta. Sepertinya 1 minggu di rumah terlewatkan dengan sangat cepat, dan lagi-lagi saya harus dihadapkan pada ‘perpisahan’. Hal yang saya benci dan tidak ingin saya hadapi. Setelah bersiap saya memandang sekeliling rumah, berusaha merekam semua yang ada di rumah. Foto-foto, tata ruang dan semua yang ada di dalamnya yang dapat saya temui 6 bulan kemudian. 

Beberapa saat bunyi klakson mobil terdengar, tanda travel telah menjemput dan berarti perpisahan dimulai. Saya berpamitan yang kemudian disambut dengan pelukan hangat dari mama tercinta. Rasanya enggan melepaskannya, tapi saya tetap harus kembali untuk meraih mimpi saya. Mimpi yang harus segera saya capai. 

Di kanan saya duduk seorang ibu yang terlihat berkali-kali membuka hpnya dan bimbang. Mungkin sedang mengenang apa yang terjadi selama mudik, atau memikirkan orang yang ditinggalkan atau bahkan memikirkan apa yang akan terjadi esok. Sedangkan di kursi depan duduk seorang pemuda yang berkali-kali mendapat telpon dari orangtuanya. Sepertinya mereka belum ingin berpisah. 
Lagi-lagi perpisahan membuat orang-orang resah. Menimbulkan sebuah ketakutan bahwa apa yang sudah ada tiba-tiba hilang begitu saja. Banyak orang berkata, “ketika ada pertemuan maka akan ada sebuah perpisahan”. Dan itupun yang sering saya rasakan ketika dihadapkan pada sebuah perpisahan. Tapi saya teringat omongan salah seorang teman saya, “Perpisahan bukanlah sesuatu yang harus disedihi, karena ada perpisahanlah maka akan ada pertemuan selanjutnya”. Sean Covey dalam bukunya yang berjudul ‘The 7 Habits of Highly Effective Teens’ mengatakan : “Paradigma seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang tersebut bertindak. Paradigma yang negatif akan menghambat sesorang, dan paradigma yang positif akan membangkitkan yang terbaik dalam diri seseorang.” Apa sebenarnya yang membuat kita bersedih bahkan membenci sebuah perpisahan? Ya, paradigma kitalah yang membuatnya! Paradigma kita tentang perpisahan adalah paradgima yang negatif, yang membuat kita membencinya. Jadi mengapa kita tidak mengganti paradigma kita selama ini? Baliklah paradigma kita, bukan lagi ‘ketika ada pertemuan maka akan ada sebuah perpisahan’, tetapi “karena ada perpisahan maka akan ada pertemuan selanjutnya”. Dengan begitu takkan ada lagi kesedihan ketika menghadapi sebuah perpisahan. Melainkan perasaan syukur akan apa yang telah dilewati selama pertemuan, dan penantian bahwa akan ada pertemuan berikutnya.

Mari berusaha membuat paradigma yang positif dari sekarang. Lagi-lagi saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang tak henti-hentinya mengingatkan saya. Kali ini Tuhan memberi peringatan lewat seorang teman yang telah merubah paradigma saya tentang arti sebuah perpisahan. 

Kamis, 15 Agustus 2013

Hari yang indah

Hari yang cerah dan burung-burung mulai berkicau indah. Langit yg pagi tadi menangis mendung, kini mulai terang benderang. Matahari muncul dengan indahnya dan awan mulai menghiasi langit. Tak lupa aku mengucap syukur untuk hari yang indah ini, untuk segala ciptaan-Nya yang begitu indah, dan untuk hatiku yang bersinar seperti hari ini :)