Jam menunjukkan pukul 03.00 dan alarm hp berbunyi keras menggema di telinga. Tapi mata ini enggan untuk membuka. Mungkin karena dingin yang mencekam dan perasaan seolah tidak ingin lepas dari tempat tidur yang nyaman ini. Yah, pagi ini saya harus kembali ke perantauan, menuju kota pelajar tercinta Yogyakarta. Sepertinya 1 minggu di rumah terlewatkan dengan sangat cepat, dan lagi-lagi saya harus dihadapkan pada ‘perpisahan’. Hal yang saya benci dan tidak ingin saya hadapi. Setelah bersiap saya memandang sekeliling rumah, berusaha merekam semua yang ada di rumah. Foto-foto, tata ruang dan semua yang ada di dalamnya yang dapat saya temui 6 bulan kemudian.
Beberapa saat bunyi klakson mobil terdengar, tanda travel telah menjemput dan berarti perpisahan dimulai. Saya berpamitan yang kemudian disambut dengan pelukan hangat dari mama tercinta. Rasanya enggan melepaskannya, tapi saya tetap harus kembali untuk meraih mimpi saya. Mimpi yang harus segera saya capai.
Di kanan saya duduk seorang ibu yang terlihat berkali-kali membuka hpnya dan bimbang. Mungkin sedang mengenang apa yang terjadi selama mudik, atau memikirkan orang yang ditinggalkan atau bahkan memikirkan apa yang akan terjadi esok. Sedangkan di kursi depan duduk seorang pemuda yang berkali-kali mendapat telpon dari orangtuanya. Sepertinya mereka belum ingin berpisah.
Lagi-lagi perpisahan membuat orang-orang resah. Menimbulkan sebuah ketakutan bahwa apa yang sudah ada tiba-tiba hilang begitu saja. Banyak orang berkata, “ketika ada pertemuan maka akan ada sebuah perpisahan”. Dan itupun yang sering saya rasakan ketika dihadapkan pada sebuah perpisahan. Tapi saya teringat omongan salah seorang teman saya, “Perpisahan bukanlah sesuatu yang harus disedihi, karena ada perpisahanlah maka akan ada pertemuan selanjutnya”. Sean Covey dalam bukunya yang berjudul ‘The 7 Habits of Highly Effective Teens’ mengatakan : “Paradigma seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang tersebut bertindak. Paradigma yang negatif akan menghambat sesorang, dan paradigma yang positif akan membangkitkan yang terbaik dalam diri seseorang.” Apa sebenarnya yang membuat kita bersedih bahkan membenci sebuah perpisahan? Ya, paradigma kitalah yang membuatnya! Paradigma kita tentang perpisahan adalah paradgima yang negatif, yang membuat kita membencinya. Jadi mengapa kita tidak mengganti paradigma kita selama ini? Baliklah paradigma kita, bukan lagi ‘ketika ada pertemuan maka akan ada sebuah perpisahan’, tetapi “karena ada perpisahan maka akan ada pertemuan selanjutnya”. Dengan begitu takkan ada lagi kesedihan ketika menghadapi sebuah perpisahan. Melainkan perasaan syukur akan apa yang telah dilewati selama pertemuan, dan penantian bahwa akan ada pertemuan berikutnya.
Mari berusaha membuat paradigma yang positif dari sekarang. Lagi-lagi saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang tak henti-hentinya mengingatkan saya. Kali ini Tuhan memberi peringatan lewat seorang teman yang telah merubah paradigma saya tentang arti sebuah perpisahan.
0 komentar:
Posting Komentar